Spare Parts Inventory Control - Optimization and Simulation Approaches

Oleh: Mansur M. Arief

Keterangan: Catatan ini memberikan gambaran singkat tentang optimasi dan pertimbangan yang penting untuk menentukan kebijakan persediaan spare parts, sebagai bahan pembelajaran tambahan mendampingi handout Spare-Parts Inventory Control Management. Catatan ini ditujukan untuk mahasiswa PJJ PLN, Program Studi Magister Teknik Industri, Departemen Teknik dan Sistem Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Indonesia. Ini merupakan part 2 dari kuliah ini, yang membahas pendekatan optimasi stokastik dan simulasi dalam pengelolaan persediaan suku cadang. Part 1 sebelumnya membahas perkenalan dan overview singkat pengelolaan persediaan suku cadang.


Pengantar

Seperti telah dibahas sebelumnya, pengelolaan suku cadang yang baik akan memastikan service level yang baik, yaitu ketersediaan suku cadang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat. Metrik yang penting lainnya adalah efisiensi pengelolaan inventory, yaitu biaya persediaan suku cadang, termasuk biaya penyimpanan (inventory holding cost), biaya pemesanan (order cost), dan biaya kekurangan stok (stockout cost).

Beberapa kebijakan persediaan yang umum digunakan dalam pengelolaan suku cadang adalah kebijakan \((s, Q)\) dan \((R, S)\). Kebijakan ini memungkinkan perusahaan untuk menentukan kapan dan berapa banyak pesanan yang harus ditempatkan, berdasarkan tingkat persediaan yang ada dan tingkat permintaan yang diperkirakan. Namun, kebijakan ini seringkali memerlukan penyesuaian dan evaluasi secara berkala, terutama bila kondisi permintaan dan biaya berubah seiring waktu.

Kebijakan \((s, Q)\) (Continuous Review Policy)

Kebijakan \((s, Q)\) berarti perusahaan akan memesan \(Q\) unit suku cadang setiap kali tingkat persediaan mencapai \(s\) unit. Dalam konteks ini, \(s\) disebut juga sebagai reorder point atau reorder level, yaitu tingkat persediaan yang memicu pemesanan ulang. \(Q\) adalah jumlah pesanan yang ditempatkan setiap kali pemesanan dilakukan. Kebijakan ini cocok digunakan untuk suku cadang yang permintaannya bersifat stokastik dan tidak terduga, sehingga perusahaan perlu memantau tingkat persediaan secara terus-menerus dan memesan suku cadang hanya ketika diperlukan.

Kebijakan \((R, S)\) (Periodic Review Policy)

Kebijakan \((R, S)\) berarti perusahaan akan meninjau persediaan setiap \(R\) waktu dan mengisi persediaan hingga mencapai \(S\) unit. Dalam konteks ini, \(R\) disebut juga sebagai review period atau review interval, yaitu interval waktu antara dua pemeriksaan persediaan. \(S\) adalah tingkat persediaan yang diinginkan setelah pemeriksaan dilakukan atau order up-to level. Kebijakan ini cocok digunakan untuk suku cadang yang permintaannya stabil dan dapat diprediksi, sehingga perusahaan dapat menentukan interval waktu yang tepat untuk meninjau persediaan dan memesan suku cadang.

Dalam prakteknya, perusahaan seringkali menggunakan kombinasi dari kedua kebijakan ini, tergantung pada karakteristik suku cadang, biaya persediaan, dan kebijakan perusahaan. Selain itu, perusahaan juga dapat menggunakan pendekatan matematis, analitis, atau simulasi untuk menentukan kebijakan persediaan yang optimal, berdasarkan data historis permintaan, biaya persediaan, dan kebijakan perusahaan.

Penentuan Kebijakan Persediaan

Penentuan kebijakan persediaan yang optimal dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, antara lain:

  1. Pendekatan Berbasis Pengalaman (Expert Judgment): Penentuan kebijakan persediaan berdasarkan pengalaman dan intuisi dari para ahli atau praktisi di perusahaan. Pendekatan ini cocok digunakan untuk suku cadang yang permintaannya stabil dan dapat diprediksi, sehingga para ahli dapat menentukan kebijakan persediaan yang optimal berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka.

    Perlu diperhatikan juga bahwa expert judgment seringkali tetap memerlukan data atau informasi yang akurat dan relevan, sehingga para ahli dapat membuat keputusan yang tepat. Seringkali, expert judgment perlu dikombinasikan dengan pendekatan lain, seperti analisis data atau simulasi, untuk memastikan kebijakan persediaan yang optimal dan sejalan dengan insights dan intuisi para ahli.

  2. Pendekatan Analitis: Penentuan kebijakan persediaan berdasarkan rumus atau formula matematis yang telah ada, seperti rumus EOQ (Economic Order Quantity) untuk kebijakan \((s, Q)\) atau rumus ROP (Reorder Point) untuk kebijakan \((R, S)\). Pendekatan ini cocok digunakan untuk suku cadang yang permintaannya stabil dan biaya persediaan yang dapat dihitung dengan mudah, sehingga perusahaan dapat menentukan kebijakan persediaan yang optimal berdasarkan rumus atau formula yang telah ada.

    Untuk suku cadang, model EOQ dan ROP seringkali tidak cukup untuk mengoptimalkan kebijakan persediaan, terutama jika permintaan bersifat intermitten (tidak teratur) atau stokastik (stokastik). Salah satu asumsi utama dari model EOQ dan ROP adalah permintaan yang konstan, yang seringkali tidak terpenuhi bila melihat pola permintaan suku cadang yang sebenarnya. Oleh karena itu, seringkali pendekatan EOQ dan ROP perlu dikombinasikan dengan pendekatan lain, seperti simulasi atau optimasi stokastik.

  3. Pendekaatan Optimasi Matematis: Penentuan kebijakan persediaan berdasarkan model matematis yang memperhitungkan karakteristik stokastik dari permintaan, biaya persediaan, dan kebijakan perusahaan. Pendekatan ini cocok digunakan untuk suku cadang yang permintaannya stokastik dan biaya persediaan yang kompleks, sehingga perusahaan dapat menentukan kebijakan persediaan yang optimal berdasarkan model matematis yang telah dibangun.

    Umumnya, model-model matematis yang digunakan dalam optimasi persediaan adalah model stokastik, yang memperhitungkan ketidakpastian dari permintaan dan biaya persediaan. Seringkali, model yang digunakan adalah model nonlinier, yang memerlukan solver khusus. Gambar di bawah menunjukkan contoh sebaran nilai objektif (service level dan total biaya) dari model optimasi stokastik dengan 100 set data permintaan yang berbeda. Area di sebelah kanan garis merah menunjukkan solusi dengan service level lebih besar atau sama dengan 99%. Jelas terlihat hubungan antara variabel kebijakan persediaan (s, Q) dan nilai objektif (service level dan total biaya) dari model optimasi stokastik ini bersifat nonlinier.

    Contour Maps

    Untuk skala besar, model dasar nonlinier ini seringkali diubah menjadi model linier (MILP) untuk mempercepat proses optimasi. Proses modifikasi model ini disebut linearisasi dan seringkali memerlukan penyesuaian yang cermat agar hasilnya tetap akurat dan relevan.

Baik pendekatan expert judgment, analitis, maupun optimasi matematis memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung pada karakteristik suku cadang, biaya persediaan, dan kebijakan perusahaan. Menggunakan metode apapun, kriteria utama dalam menentukan kebijakan persediaan yang optimal adalah memastikan service level yang baik, efisiensi biaya persediaan, dan ketersediaan suku cadang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat. Selain itu, perusahaan juga perlu mempertimbangkan aspek stokastik dari permintaan, biaya persediaan, dan kebijakan perusahaan, untuk memastikan kebijakan persediaan yang optimal dan berkelanjutan.

Gambar berikut menunjukkan contoh hasil evaluasi kebijakan persediaan berdasarkan metrik biaya total, biaya penyimpanan, biaya pemesanan, dan biaya kekurangan stok dari tiga kebijakan persediaan yang berbeda yang diperoleh dari berbagai pendekatan. Evaluasi yang dilakukan menggunakan simulasi stokastik dengan 100 set data permintaan yang berbeda.

Kebijakan Persediaan Service Level Total Biaya Biaya Penyimpanan Biaya Pemesanan Biaya Stockout
(s=13, Q=4) 91.6% $\pm$ 2.1% 328.3 $\pm$ 78.0 20.2 $\pm$ 1.6 2.1 $\pm$ 0.1 306.0 $\pm$ 78.5
(s=25, Q=6) 99.9% $\pm$ 0.2% 41.6 $\pm$ 7.7 36.2 $\pm$ 1.7 1.7 $\pm$ 0.1 3.7 $\pm$ 8.2
(R=7, S=30) 99.9% $\pm$ 0.3% 42.6 $\pm$ 9.5 35.6 $\pm$ 1.8 2.2 $\pm$ 0.0 4.8 $\pm$ 10.2

*Semua biaya dalam (juta Rupiah)

Policy Metrics

Dari hasil evaluasi tersebut, terlihat bahwa kebijakan persediaan $(s=25, Q=6)$ memberikan hasil yang paling baik, dengan service level 99.9% dan total biaya persediaan yang paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan optimasi matematis dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan analitis atau expert judgment, terutama untuk suku cadang yang permintaannya stokastik dan biaya persediaan yang kompleks. Kebijakan $(R=7, S=30)$ juga memberikan hasil yang baik, namun biaya stockout (dan variasinya) yang lebih tinggi menunjukkan bahwa risiko stockout masih cukup tinggi. Kebijakan hasil EOQ $(s=13, Q=4)$ memberikan hasil yang paling buruk, dengan service level yang rendah dan total biaya persediaan yang tinggi. Ini mungkin disebabkan oleh asumsi model EOQ yang tidak memperhitungkan stokastisitas permintaan dan biaya persediaan dengan pola permintaan suku cadang yang bersifat intermitten.

Suku Cadang Kritis dan Non-Kritis

Dalam pengelolaan suku cadang, seringkali suku cadang dikelompokkan menjadi suku cadang kritis dan non-kritis. Suku cadang kritis adalah suku cadang yang sangat penting dan vital untuk operasi perusahaan, sehingga kekurangan stok suku cadang ini dapat menyebabkan gangguan serius dalam operasi perusahaan. Suku cadang non-kritis adalah suku cadang yang dapat digantikan atau diganti dengan suku cadang lain, sehingga kekurangan stok suku cadang ini tidak akan berdampak serius pada operasi perusahaan.

Strategi pengelolaan persediaan suku cadang kritis dan non-kritis dapat berbeda, tergantung pada karakteristik suku cadang, biaya persediaan, dan kebijakan perusahaan. Beberapa strategi umum yang dapat digunakan dalam pengelolaan suku cadang adalah:

  1. Pengendalian Persediaan Terpusat vs. Terdesentralisasi: Pengendalian persediaan suku cadang secara terpusat dapat membantu perusahaan mengurangi biaya persediaan dan meningkatkan efisiensi pengelolaan persediaan. Pengendalian persediaan terpusat memungkinkan perusahaan untuk mengelola persediaan suku cadang secara lebih efektif dan efisien, terutama untuk suku cadang kritis yang sangat penting untuk operasi perusahaan.

  2. Vendor-Managed Inventory (VMI): Persediaan suku cadang dikelola langsung oleh vendor, bukan oleh pembeli. Pendekatan ini memungkinkan vendor untuk mengelola persediaan suku cadang secara lebih efektif dan efisien, terutama untuk suku cadang non-kritis yang dapat digantikan atau diganti dengan suku cadang lain.

  3. Consignment Inventory: Vendor memiliki persediaan suku cadang sampai digunakan. Pendekatan ini memungkinkan vendor untuk memiliki kontrol yang lebih besar atas persediaan suku cadang, terutama untuk suku cadang kritis yang sangat penting untuk operasi perusahaan.

  4. Just-in-Time (JIT) Inventory: Persediaan suku cadang dikirimkan saat diperlukan. Pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya persediaan dan meningkatkan efisiensi pengelolaan persediaan, terutama untuk suku cadang non-kritis yang dapat digantikan atau diganti dengan suku cadang lain.

  5. Collaborative Planning, Forecasting, and Replenishment (CPFR): Vendor dan pembeli bekerja sama dalam perencanaan, peramalan, dan pengisian ulang persediaan. Pendekatan ini memungkinkan vendor dan pembeli untuk bekerja sama dalam perencanaan, peramalan, dan pengisian ulang persediaan, terutama untuk suku cadang kritis yang sangat penting untuk operasi perusahaan.

Strategi-strategi ini dapat membantu perusahaan dalam mengelola persediaan suku cadang secara lebih efektif dan efisien, terutama untuk suku cadang kritis yang sangat penting untuk operasi perusahaan. Dengan menggunakan strategi-strategi ini, perusahaan dapat memastikan ketersediaan suku cadang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat, sehingga operasi perusahaan dapat berjalan dengan lancar dan efisien.

Kesimpulan

Dalam pengelolaan suku cadang, terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan kebijakan persediaan yang optimal, tergantung pada karakteristik suku cadang, biaya persediaan, dan kebijakan perusahaan. Pendekatan expert judgment, analitis, dan optimasi matematis memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung pada kompleksitas suku cadang dan biaya persediaan. Dalam menentukan kebijakan persediaan yang optimal, perusahaan perlu memastikan service level yang baik, efisiensi biaya persediaan, dan ketersediaan suku cadang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat.

Dengan menggunakan pendekatan yang tepat, perusahaan dapat mengoptimalkan kebijakan persediaan suku cadang, sehingga dapat meningkatkan efisiensi operasi, mengurangi biaya persediaan, dan meningkatkan kepuasan pelanggan. Dengan demikian, pengelolaan persediaan suku cadang yang baik akan membantu perusahaan untuk mencapai tujuan bisnisnya, meningkatkan daya saing, dan mencapai keberlanjutan jangka panjang.

Kuis Singkat #3 (Ungraded)

Silakan evaluasi pemahaman Anda dengan menjawab pertanyaan berikut:

Q1. What is the main difference between the (s, Q) and (R, S) inventory policies?
Correct! (s, Q) involves continuous monitoring of inventory levels, while (R, S) reviews inventory at fixed intervals.
Not quite
Not quite
Not quite
Q2. Which of the following is NOT a typical approach for determining optimal inventory policies?
Not quite
Not quite
Not quite
Correct! Random guessing is not a valid approach for determining inventory policies.
Q3. Why might the EOQ (Economic Order Quantity) model be insufficient for optimizing spare parts inventory?
Correct! The EOQ model assumes constant demand, which is often not the case for spare parts.
Not quite
Not quite
Not quite
Q4. What is the main advantage of using stochastic optimization for spare parts inventory control?
Not quite
Correct! Stochastic optimization accounts for variability in demand and lead time, which is crucial for spare parts.
Not quite
Not quite
Q5. In the context of spare parts inventory, what does 'service level' primarily refer to?
Not quite
Correct! Service level typically refers to the probability of meeting demand from stock.
Not quite
Not quite
Q6. A company is struggling with frequent stockouts of a critical spare part despite using an EOQ model. What could be a potential reason for this?
Not quite
Correct! EOQ assumes constant demand, which may not hold for spare parts with intermittent or variable demand.
Not quite
Not quite
Q7. What is the main benefit of using a centralized inventory control strategy for spare parts?
Not quite
Not quite
Correct! Centralized control can lead to more efficient inventory management and lower overall costs.
Not quite
Q8. In the context of spare parts inventory, what does VMI stand for and what is its main advantage?
Not quite
Correct! VMI allows suppliers to manage inventory, potentially improving efficiency and reducing costs.
Not quite
Not quite
Q9. A power distribution company is considering implementing a Just-in-Time (JIT) inventory system for all its spare parts. What potential risk should they be most concerned about?
Not quite
Not quite
Correct! JIT can increase the risk of stockouts, which is particularly concerning for critical spare parts.
Not quite
Q10. What is the main difference between the inventory policies for critical and non-critical spare parts?
Correct! Critical parts typically require higher service levels to avoid costly stockouts.
Not quite
Not quite
Not quite

This note is an supplementary material for the lecture “Spare Parts Inventory Control and Management: Stochastic Optimization and Simulation Approaches” by Mansur M. Arief. The lecture is part of the course “Inventory Management” for Master’s of Industrial Engineering program, Department of Industrial and Systems Engineering, Institute of Technology Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Indonesia.

Parts of this note are adapted from various sources available online. The examples and illustrations are created by the author for educational purposes. Github Copilot is used to generate some parts of the text. The author has reviewed and edited the text to ensure its accuracy and relevance to the topic.